Berbagi resep masakan dan tempat destinasi

culture food and drink food culture foodies travel

7 Alasan Kenapa Beberapa Orang Ragu Menjelajahi Kuliner Lokal Saat Liburan


Sedee.xyz

Bepergian bukan sekadar soal
check-in
di
landmark
terkenal atau berpose di depan gedung-gedung ikonis. Bagian yang paling autentik dari suatu perjalanan adalah… makanannya.

Makanan tradisional merupakan jalan cepat untuk mengenal budaya suatu daerah. Namun, belum tentu setiap orang menerima hal ini dengan lapang dada. Banyak wisatawan masih cenderung lebih memilih hamburger asing daripada nasi uduk, atau kopi instan dibandingkan kopi seduh ala lokal.

Kenapa begitu? Jawabannya lebih dalam dari sekadar “nggak doyan” atau “takut sakit perut”. Faktanya, psikologi punya andil besar dalam pilihan kuliner kita saat berada di tempat baru.

Berdasarkan informasi dari situs web Geediting.com pada hari Senin, 28 April 2025, berikut adalah tujuh kebiasaan biasa dalam perspektif ilmu psikologi yang bisa menyebabkan seseorang ragu untuk mencicipi masakan setempat saat bepergian:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.


1. Takut pada yang tidak dikenal

Banyak individu mengalami rasa khawatir ketika perlu mencoba hal-hal yang belum pernah dicoba sebelumnya—khususnya bila berhubungan dengan zat yang akan dimasukkan ke dalam tubuh mereka.

Inilah sebuah respons natural. Bagian otak yang mengurus keberlangsungan hidup kita, khususnya, lebih condong untuk waspada terhadap sesuatu yang tidak dikenali—seperti makanan tradisional yang belum pernah diicip sebelumnya.

Masakan yang sudah dikenal memberikan perasaan keamanan. Sementara masakan baru? Bisa jadi ada risiko alergi, cita rasa tak sesuai selera, atau bahkan merasa malu jika tidak menyukainya.

Jadi jangan heran kalau seseorang tetap memilih ayam goreng cepat saji saat berada di Hanoi. Itu bukan karena tidak menghargai budaya lokal—bisa jadi hanya karena otak mereka sedang main aman.


2. Kebutuhan akan kendali

Beberapa individu merasa lebih tenang jika setiap hal berlangsung seperti yang direncanakan—including pilihan makannya. Ketika bepergian, kondisi di sekitar sudah cukup sulit untuk ditebak; mengonsumsi hidangan baru hanya akan meningkatkan tingkat ketidaktentuan tersebut.

Dengan memilih pangan yang telah diketahui, mereka menanggulangi kembali kekuasaan atas hal-hal dalam lingkungan yang serba baru ini.

Misalnya saja? Memilih sandwich biasa di Paris bukanlah pilihan untuk menghindari escargot, melainkan agar tetap memiliki sesuatu yang familiar dan menenangkan.


3. Pengaruh pola asuh

Kebiasaan dan preferensi makan kita terbentuk dengan kuat semenjak usia dini. Apabila Anda tumbuh dalam lingkungan keluarga yang cenderung tradisional mengenai jenis makanan, maka tidak heran jika ketika sudah menjadi orang dewasa, pilihan makanan Anda lebih condong pada hal-hal yang sederhana dan umum dikonsumsi.

Orang yang tidak terbiasa dengan hidangan luar negeri sejak kecil lebih condong untuk tidak menguji coba masakannya secara spontan ketika sudah dewasa.

Ini bukan masalah berani atau tidak, tetapi lebih kepada kebiasaan serta pengalaman sebelumnya yang menciptakan tingkat kepercayaan diri mereka saat mengeksplorasi rasanya yang belum pernah dicoba sebelumnya.


4. Indra perasaannya sangat peka

Sebagian individu memiliki kepekaan yang lebih tinggi terhadap sensasi rasa dan bau. Di bidang psikologi, kelompok ini dikenal sebagai supertaster atau pengecicip makanan super.

Untuk beberapa orang, hidangan dengan bau atau cita rasa yang kuat dapat terasa menyolok dan bahkan menimbulkan ketidaknyamanan. Karena alasan ini pula, mereka cenderung menjauhi kari pedas dari India ataupun sambal tradisional Indonesia.

Itu bukan disebabkan oleh ketidakpedulian terhadap masakan setempat, melainkan karena sistem perasaan mereka memiliki rentang toleransi yang lebih kecil.


5. Kesan tenang dari sesuatu yang sudah dikenal

Ketika berada di lingkungan baru dan tidak familiar, sesuatu sekecil makanan dapat menyampaikan perasaan “kediaman” yang amat dirindukan.

Memilih menu yang sudah dikenal bisa jadi semacam jangkar emosional untuk mengurangi stres selama perjalanan.

Kadang, burger di Bangkok atau kopi instan di Nepal memberi efek menenangkan lebih dari yang kita kira.

Ini bukan masalah preferensi, tetapi tentang menemukan keseimbangan di era yang sepenuhnya berubah.


6. Rasa takut memilih makanan yang tidak tepat (versi FOMO dalam dunia kuliner)

Ironisnya, semakin banyak opsi yang tersedia malah dapat mengakibatkan kebuntuan dalam pengambilan keputusan. Fenomena ini dikenali di bidang psikologi dengan sebutan paralisis analisis akibat kelimpahan pilihan.
the paradox of choice.

Saat menghadapi aneka masakan setempat, beberapa individu menjadi ragu dalam memilih. Mereka khawatir akan merasa tidak puas. Khawatir terlewatkan sesuatu yang lebih lezat. Pada akhirnya… mereka kembali pada menu familiar yang rasaannya telah dikenal.

Ini bukan tentang takut untuk berusaha, tetapi lebih kepada ketakutan saat harus memilih di antara begitu banyak opsi yang ada.


7. Batasan Pada Makanan dan Status Kesehatan

Alergi, toleransi terhadap makanan rendah, pola makan ekstrem, atau larangan berdasarkan keyakinan agama dapat menjadi sebab kuat mengapa seseorang enggan (atau tidak dapat) menikmati masakan setempat.

Bagi mereka, mengatur pola makan tak hanya sebagai opsi, tetapi menjadi elemen penting dalam merawat kondisi tubuh atau keutuhan diri.

Sebelum menuduh seseorang bertindak “aman” dalam memilih piringannya, pertimbangkan bahwa terkadang ada alasannya medis atau spiritual tertentu dibalik keputusan tersebut.

Pilihan makanan saat traveling mencerminkan jauh lebih banyak dari sekadar “suka atau tidak suka”. Di balik itu ada sejarah, kebiasaan, trauma, kebutuhan akan stabilitas, bahkan preferensi biologis.

Apakah Anda tim petualang rasa, atau tim kenyamanan dan keakraban, semuanya valid. Yang penting, kita tahu kenapa kita memilih, dan tetap terbuka untuk belajar—baik dari makanan, maupun dari diri sendiri.

Akhirnya, petualangan merupakan suatu pengalaman yang amat personal. Dan keputusan kita saat memilih hidangan juga menjadi sebagian cerita tersebut.

Maka, ingin memilih pho atau pizza untuk makan malam hari ini di Vietnam? Tak ada yang salah dengan kedua pilihan itu. Hanya saja akan menjadi kisah yang berbeda.

(*)

You may also like...

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *