Krisis BBM di SPBU Swasta, Impor Melalui Pertamina Tak Menarik Minat

Kurangnya pasokan bahan bakar minyak (BBM) di stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) telah terjadi selama lebih dari sebulan, atau tepatnya sejak Agustus 2025. Sampai saat ini, belum ada tanda-tanda penyelesaian masalah ini.

Meskipun demikian, persediaan bahan bakar minyak di SPBU swasta akan mengalami kekurangan dan bis total pada Oktober 2025. Ada lima perusahaan SPBU swasta yang terkena dampak kejadian ini, yaitu Shell Indonesia, BP-AKR, Vivo, AKR, dan Exxonmobil.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menyatakan bahwa SPBU swasta saat ini masih terus berkoordinasi dengan Pertamina, dalam upaya menyelesaikan masalah kelangkaan bahan bakar minyak.

“Secara business to businessnyasedang dalam proses komunikasi, kolaborasi antara Pertamina dan pihak swasta masih berlangsung,” ujar Bahlil saat diwawancarai di kantor BPH Migas, Kamis (2/10).

Ketua Umum Partai Golkar ini menyatakan bahwa kekurangan BBM di SPBU swasta tidak memengaruhi pasokan nasional. Hal ini karena BBM Pertamina dengan kadar oktan (RON) 92, 95, 98 atau Pertalite tersedia dalam jumlah yang cukup dan mampu bertahan selama 18-21 hari.

“Maka tidak ada alasan dan ada satu pandangan bahwa persediaan BBM kita sedang berkurang. Kuota impornya (swasta) sudah kami berikan sesuai dengan yang sebelumnya disampaikan,” katanya.

Duduk Perkara Kelangkaan BBM

Kekurangan BBM di SPBU swasta disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang membatasi impor untuk SPBU swasta. BP-AKR dan Shell Indonesia menyampaikan bahwa mereka menerima surat dari Wakil Menteri ESDM, Yuliot Tanjung pada 17 Juli 2025 yang menyatakan bahwa kuota impor bagi SPBU swasta tahun ini hanya sebesar 110% dari total penjualan pada tahun 2024.

Sebelum surat tersebut dikeluarkan, Direktur Eksekutif BP-AKR, Vanda Laura menyatakan bahwa pihaknya telah mengamati potensi keterbatasan stok sejak Juni 2025. Sebulan setelahnya, BP-AKR mengajukan permohonan penambahan atau penyesuaian kuota impor bahan bakar minyak kepada Kementerian ESDM. Namun, yang diterimanya adalah surat pembatasan impor.

“Kemudian pada bulan Juli kami menerima surat dari Bapak Wakil Menteri ESDM yang menyebutkan bahwa kuota impor hanya sebesar 110%,” katanya dalam rapat dengar pendapat bersama Komisi XII DPR RI, Rabu (10/1).

Vanda menyatakan kebijakan mendadak tersebut merugikan karena perusahaannya telah memiliki rencana untuk membuka 10 SPBU baru tahun ini. Pembatasan stok bahan bakar minyak tidak cukup memenuhi kebutuhan perusahaan.

Senada, Direktur Eksekutif dan Manajer Eksekutif Mobilitas, Shell Indonesia Ingrid Siburian menyatakan bahwa Shell telah mengajukan permohonan kuota impor tambahan akibat meningkatnya permintaan konsumen.

“Namun kami baru menerima jawaban resmi dari Bapak Wakil Menteri ESDM yang berlaku tanggal 17 Juli 2025, yang menyampaikan adanya pembatasan terhadap kegiatan impor,” ujar Ingrid dalam kesempatan yang sama.

Realisasi Kuota Impor Bahan Bakar Minyak di SPBU Swasta

Kepala Badan Minyak dan Gas Bumi, Laode Sulaeman, menyampaikan bahwa total kebutuhan impor untuk SPBU swasta diperkirakan mencapai 571.568 kiloliter (KL) hingga akhir tahun. Kebutuhan ini melibatkan lima perusahaan dan berbagai jenis bahan bakar minyak.

Angka ini melebihi kuota impor 110% yang sebelumnya ditentukan pemerintah, yaitu sebesar 776.248 KL untuk tahun ini. Secara umum, pencapaian impor bahan bakar minyak dari perusahaan swasta saat ini sudah mencapai lebih dari 98%.

Sebagai informasi, Pertamina Patra Niaga masih memiliki sisa kuota impor sebesar 34%, yaitu sekitar 7,52 juta kiloliter, yang cukup untuk memenuhi tambahan alokasi bagi SPBU swasta hingga Desember 2025 sebesar 571 ribu kiloliter.

Berikut penyelesaian impor SPBU swasta:

  • PT Shell Indonesia (Shell) telah melakukan realisasi impor sebesar lebih dari 99%
  • PT Aneka Petroindo Raya (BP-AKR), realisasi impor telah mencapai lebih dari 99%
  • PT Vivo Energy Indonesia (Vivo), realisasi impor telah mencapai lebih dari 99%
  • PT AKR Corporindo (AKR) telah menyelesaikan 98,77% dari reasliasi impor
  • PT Exxonmobil Lubricants Indonesia, realisasi impor telah mencapai 76,11%

Pemerintah Berencana Memperkuat Kedudukan Pertamina

Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia, menyatakan pemerintah telah memberikan izin impor bahan bakar minyak kepada perusahaan swasta dengan kuota yang sama seperti tahun 2024. Pemerintah juga menyetujui penambahan izin impor BBM sebesar 10% pada tahun ini.

Di sisi lain, ia menyampaikan bahwa pemerintah sedang memperkuat posisi Pertamina sebagai penopang utama pasokan BBM dalam negeri.

“Saya ingin menyampaikan bahwa kebutuhan hidup masyarakat diatur oleh pemerintah. Oleh karena itu, Pertamina akan diperkuat,” ujar Bahlil di Istana Merdeka Jakarta pada Rabu (27/8).

Ketua Umum Partai Golkar menyangkal tuduhan bahwa pemerintah membatasi akses impor tambahan bagi SPBU swasta yang dikhawatirkan bisa menyebabkan persaingan tidak sehat dengan Pertamina.

“Kuota impor untuk tahun 2025 diberikan sebesar 110% dibandingkan dengan tahun 2024. Jadi sangat tidak benar jika kami tidak memberikan kuota impor. Namun, untuk sisa kuotanya, silakan bekerja sama secara B2B dengan Pertamina,” ujar Bahlil di Istana Merdeka Jakarta pada Selasa (9/9).

Pemerintah Berharap Sektor Swasta Membeli Bahan Bakar Minyak dari Pertamina

Untuk mengatasi kekurangan pasokan bahan bakar minyak di SPBU swasta, pemerintah meminta perusahaan swasta tersebut untuk membeli bahan bakar impor dari Pertamina. Pada pertengahan September 2025, Kementerian ESDM mengundang perusahaan swasta dan Pertamina mengadakan rapat bersama untuk membahas masalah ketersediaan bahan bakar minyak.

Bahlil menyatakan bahwa seluruh perusahaan swasta yang memiliki SPBU telah sepakat untuk mengimpor bahan bakar minyak melalui Pertamina. Tindakan ini diambil guna mengatasi kekurangan persediaan BBM akibat pasokan dari SPBU swasta yang mulai berkurang.

Bahlil mengungkapkan keputusan ini diambil setelah rapat antara Kementerian ESDM dan seluruh perusahaan SPBU swasta pada Jumat (19/9). “Mereka sepakat dan memang harus sepakat untuk membeli serta bekerja sama dengan Pertamina,” ujar Bahlil dalam konferensi pers di kantornya, Jumat (19/9).

Ia menekankan bahwa BBM merupakan bagian dari industri strategis yang berkaitan dengan kebutuhan masyarakat. Berdasarkan Pasal 33 UUD 1945, sektor-sektor industri strategis tersebut dipegang oleh negara.

“SPBU swasta telah diberi kuota impor sebesar 110% dibandingkan tahun 2024. Namun, karena kuota tersebut telah habis sebelum 31 Desember 2025, pemerintah mengambil keputusan untuk tetap memberikan layanan dengan menyediakan pasokan melalui kerja sama dengan Pertamina,” katanya.

Menurut Bahlil, impor yang dilakukan melalui Pertamina ini merupakan impor yang baru, bukan berasal dari stok yang ada di Pertamina. “Syarat impornya harus berupa bahan baku BBM (base fuel), artinya belum dicampur-campur. Jadi nanti pencampuran BBM akan dilakukan oleh masing-masing pemilik SPBU. Ini telah disetujui dan ini adalah solusi,” katanya.

Base fuel adalah bahan bakar minyak yang belum dicampur dengan zat tambahan (aditif) maupun pewarna. Selanjutnya, SPBU swasta memproses base fuel ini sesuai dengan standar dan campuran yang ditentukan masing-masing perusahaan. Penambahan zat aditif dan pewarna berdasarkan racikan masing-masing inilah yang membuat produk akhir BBM di SPBU swasta berbeda.

Berikut empat hasil dari pertemuan tersebut:

  1. Perusahaan swasta sepakat untuk membeli melalui kerja sama dengan Pertamina, berupa komoditas yang berbasis bahan bakar dasar (produk BBM yang belum dicampur aditif dan pewarna).
  2. Melakukan pengecekan kualitas bersama dengan survei.
  3. Mengenai harga, ditentukan oleh pemerintah secara adil sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan, penentuan harga akan dilakukan secara transparan dan disepakati bersama.
  4. Setelah Menteri ESDM menggelar konferensi pers, kemudian secara terpisah Pertamina dan perusahaan swasta melakukan koordinasi mengenai dua hal, yaitu:
    • Skema pengadaan pasokan untuk memenuhi kebutuhan perusahaan swasta,
    • Pembahasan mengenai aspek komersial antar perusahaan tersebut bertujuan untuk merealisasikan arahan Menteri ESDM serta memenuhi kebutuhan masyarakat.

Kebijakan Bahan Bakar Pertamina Tidak Sesuai Standar SPBU Swasta

Manajer SPBU Vivo dan BP-AKR membatalkan rencana pembelian bahan baku atau base fuel BBM dari PT Pertamina. Keduanya sebelumnya telah sepakat untuk membeli BBM murni tersebut dari Pertamina yang telah tiba di Jakarta pekan lalu. Vivo bahkan menyatakan akan menyerap sebanyak 40 ribu barel.

“Ada dua yang mendapat persetujuan yaitu Vivo dan BP-AKR (sebelumnya sepakat). Setelah dua SPBU kembali berdiskusi dengan kami, Vivo membatalkan rencana untuk melanjutkan dan akhirnya tidak tercapai kesepakatan,” ujar Wakil Direktur Utama Pertamina Patra Niaga Achmad Muchtasyar dalam rapat dengar pendapat bersama Komisi XII DPR RI, Rabu (1/10).

Ia menjelaskan bahwa BP AKR yang sebelumnya juga setuju untuk membeli bahan bakar dasar BBM dari Pertamina, akhirnya mundur juga. Ia menyebutkan bahwa pembatalan pembelian bahan bakar dasar oleh Vivo dan BP AKR terkait dengan kandungan etanol sebesar 3,5% dalam bahan bakar dasar yang tersedia di Pertamina. Namun, ia menegaskan bahwa regulasi di Indonesia mengizinkan kadar etanol dalam BBM hingga mencapai 20%.

“Yang membuat teman-teman SPBU swasta berhenti membeli karena adanya kandungan etanol tersebut. Padahal kandungan itu masih dalam batas yang diizinkan pemerintah,” katanya.

Direktur VIVO Leonard Mamahit juga mengonfirmasi bahwa perusahaan telah melakukan pembicaraan dengan Pertamina mengenai bahan bakar dasar. “Namun terdapat beberapa hal teknis yang tidak dapat dipenuhi oleh Pertamina, sehingga permintaan kami harus dibatalkan,” katanya dalam kesempatan yang sama.

Namun, dia tidak menutup kemungkinan kerja sama di masa depan jika permintaan mereka mengenai spesifikasi bahan bakar BBM dapat dipenuhi oleh Pertamina.

Kandungan alkohol dalam bahan bakar dasar

Pertamina Patra Niaga menyatakan bahwa kandungan etanol dalam bahan bakar dasar merupakan hal yang biasa di kalangan perusahaan minyak dan berlaku secara global.

“Penggunaan bahan bakar minyak yang dicampur etanol hingga 10% telah menjadi praktik terbaik di berbagai negara seperti Amerika, Brasil, serta negara tetangga seperti Thailand, sebagai bagian dari upaya mendorong energi yang lebih ramah lingkungan sekaligus mendukung pengurangan emisi karbon,” ujar Pj. Corporate Secretary Pertamina Patra Niaga, Roberth MV Dumatubun dalam pernyataan resmi, dilaporkan Jumat (3/10).

Kepala Badan Pengelola Minyak dan Gas Bumi, Laode Sulaeman menyatakan bahwa di Indonesia pemerintah saat ini hanya menetapkan kadar oktan (RON) dalam bahan bakar minyak. Oleh karena itu, belum ada peraturan mengenai kandungan etanol dalam BBM. Laode mengungkapkan bahwa pembatalan kesepakatan tersebut terjadi karena keinginan dari perusahaan swasta SPBU.

“Mereka enggan memakai bahan bakar dasar yang mengandung etanol. Namun bukan berarti kandungan etanol dalam bahan bakar dasar tersebut melampaui batas toleransi, jadi itulah perbedaannya,” ujar Laode saat diwawancarai di kantor BPH Migas, Kamis (2/10).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *