Profesor Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (UGM) Agus Sartono mengharapkan pemerintah untuk merombak konsep pengelolaan Program Makanan Bergizi Gratis (MBG) yang telah berlangsung selama 10 bulan.
Karena selama ini pelaksanaan program pemerintah pusat melalui Badan Gizi Nasional (BGN) terus-menerus menimbulkan masalah baru. Mulai dari makanan yang kurang beragam dan tidak memenuhi kebutuhan gizi hingga kasus keracunan yang menyebabkan siswa harus dibawa ke rumah sakit dan beberapa di antaranya meninggal dunia.
“Belajar dari pengalaman baik negara-negara maju, program MBG ini sebaiknya dijalankan melalui kantin sekolah,” ujar Agus, Jumat 3 Oktober 2025.
Menurut Agus, metode ini lebih unggul dibandingkan cara atau sistem yang digunakan di Indonesia saat ini. Caranya adalah melalui kantin sekolah sehingga makanan tersaji segar dan menghindari makanan yang sudah basi.
Dengan skala yang lebih kecil dan terkendali, seharusnya metode seperti ini dapat diterapkan di Indonesia. “Sekolah yang bekerja sama dengan komite sekolah saya rasa mampu mengelola hal ini dengan baik.”
Jika penerapan tersebut dilakukan, lanjut Agus, kebutuhan bahan baku juga dapat terpenuhi melalui UMKM di sekitar sekolah sehingga terbentuk sirkulasi ekonomi yang baik.
Dengan demikian, sekolah menerima dana penuh sebesar 15 ribu rupiah per porsi, berbeda dengan kondisi saat ini yang hanya sekitar Rp 7.000 per porsi ketika diatur melalui Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG).
Alternatif lain, katanya, dana dapat diserahkan langsung kepada siswa dalam bentuk uang tunai, serta melibatkan orang tua untuk menghabiskan dan menyiapkan bekal bagi anaknya. Dengan cara ini, maka BGN hanya perlu menyusun pedoman teknis dan melakukan pengawasan.
Sama halnya dengan guru di sekolah, mereka hanya perlu melakukan pengawasan. Jika terdapat siswa yang tidak membawa bekal, dapat diberikan peringatan. Jika hingga satu bulan siswa tersebut tetap tidak membawa bekal, orang tua bisa dipanggil dan diberi peringatan. Apabila kejadian ini terus berlangsung, program tersebut dapat dihentikan.
“Metode ini menurut saya tidak hanya mampu mengatasi praktik pungutan liar, tetapi juga lebih efisien. Dana bisa langsung dicairkan kepada siswa setiap bulan, mirip dengan KIP (Kartu Indonesia Pintar) atau cara penyaluran BOS (Bantuan Operasional Sekolah),” ujar Agus.
Ia menyampaikan belakangan ini masalah keracunan MBG jika ditelusuri sebagai akibat dari panjangnya rantai distribusi. Distribusi MBG melalui SPPG dinilai hanya menguntungkan para pengusaha besar yang mampu terlibat dalam program mulia ini.
Baginya, sangat menyesal jika biaya unit sebesar Rp 15 ribu per porsi anak akhirnya hanya tersisa Rp 7 ribu. Para pengusaha besar yang terlibat justru memperoleh keuntungan besar secara gratis.
Jika margin per porsi sebesar Rp 2.000 dan satu SPPG melayani 3.000 porsi, maka keuntungan yang diperoleh per bulan mencapai Rp 150 juta atau Rp 1,8 miliar per tahun,” katanya. “Secara nasional margin Rp 2.000 dari harga Rp 15.000 atau sekitar 13 persen merupakan angka yang besar.”
Oleh karena itu, menurut Agus, penerapan MBG dengan memberikan uang tunai kepada siswa dianggap mampu mengurangi dan menghilangkan kebocoran atau keuntungan para pemburu rente sebesar Rp 33,3 triliun.
“Saya pikir masih belum terlambat, dan undangan untuk segera memperpendek rantai distribusi MBG agar lebih efisien serta menghilangkan metode tidak sehat dalam mencari keuntungan. Jadikan MBG benar-benar sebagai Makan Bergizi Gratis bagi siswa,” ujarnya.
Menurutnya, tantangan MBG sebenarnya terletak pada pelaksanaannya. Dalam analisisnya, jika dilihat dari target yang ingin dicapai, setidaknya terdapat 28,2 juta siswa SD/MI, 13,4 juta siswa SMP/MTs, 12,2 juta siswa SMK/MA/SMA, serta 2,3 juta siswa Dikmas/SLB, sehingga totalnya sekitar 55,1 juta yang perlu dilayani.
Semua hal tersebut tersebar di 329.000 satuan pendidikan, belum termasuk lebih dari 20.000 pesantren. “Dengan anggaran sebesar Rp 15.000 per siswa, maka dana yang dibutuhkan minimal mencapai Rp 247,95 triliun,” katanya.
Pelaksanaan program MBG dengan anggaran sebesar Rp 247,95 triliun ini jauh lebih besar dibandingkan dana desa tahun 2025 yang mencapai sekitar Rp 71 triliun. Di sisi lain, anggaran pendidikan yang dialokasikan ke daerah pada tahun 2025 sebesar Rp 347 triliun, sehingga terdapat dana sebesar Rp 665,95 triliun yang beredar di tingkat daerah.
Sesungguhnya, menurut Agus, telah banyak program yang bertujuan dan berbasis pada siswa serta masyarakat kurang mampu seperti Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Kartu Indonesia Pintar (KIP), Program Keluarga Harapan (PKH), serta bantuan sosial atau bansos.
Program-program ini sebelumnya telah menjangkau paling sedikit 20 persen dari keluarga kurang mampu. Pada tahun 2010, penyaluran BOS pernah menghadapi kendala dan akhirnya disalurkan langsung ke satuan pendidikan, serta BOS ini diberikan kepada sekolah/madrasah/satuan pendidikan berdasarkan jumlah siswa.
“Yang menjadi pertanyaan, mengapa MBG yang tujuannya sangat baik tidak dilakukan melalui mekanisme yang sudah ada?” ujar Agus. Menurutnya, UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah telah menetapkan bahwa pendidikan merupakan kewenangan bersama dan daerah diberi otonomi. Sementara Kabupaten/Kota mengelola SD/SMP, provinsi mengelola SMK/SMA, serta pendidikan berbasis agama tetap berada di bawah Kemenag.
Oleh karena itu, Agus Sartono berpendapat bahwa sebaiknya daerah diberi wewenang sesuai dengan undang-undang, sedangkan Badan Gizi Nasional (BGN) hanya bertugas melakukan pengawasan. Menurutnya, melalui cara dan pemberdayaan pemerintah daerah, akan memastikan kemudahan dalam koordinasi serta tingkat keberhasilan yang jauh lebih baik.