SEDEE.XYZ,JAKARTA – Pemerintah Amerika Serikat menghentikan sebagian aktivitasnya sejak Rabu (1/10/2025) karena belum adanya kesepakatan pemerintah Presiden ASDonald Trumpdan Konferensi mengenai pendanaan federal.
Penutupan atau shutdown ini menimbulkan respons di pasar global seiring para investor mengevaluasi kemungkinan dampaknya terhadap perekonomian secara keseluruhan. Meskipunshutdown biasanya hanya memiliki pengaruh terbatas terhadap pasar modal, namun momen ini dianggap penuh dengan konsekuensi.
Pengumuman data tenaga kerja Amerika Serikat yang dijadwalkan pada hari Jumat dipastikan ditunda, menambah ketidakpastian bagi bank sentral AS Federal Reserve yang sedang bersiap mengadakan rapat penting beberapa minggu mendatang.
Presiden Donald Trump bahkan mengancam akan memanfaatkan situasi ini untuk melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap sejumlah besar pegawai pemerintah federal.
Beberapa aset bergerak bervariasi meresponsshutdown pemerintah Amerika Serikat. Harga emas kembali mencatatkan angka tertinggi baru setelahshutdown, meskipun kembali melemah menghadapi pernyataan pejabat The Fed. Di sisi lain, bursa Eropa dan Wall Street secara bersamaan ditutup naik. Pasar saham AS bahkan mencatat rekor tertingginya.
Wakil Kepala Ekonom Aberdeen, Luke Bartholomew, menyatakan bahwa penutupan pemerintahan AS semakin memperkuat keraguan terhadap kredibilitas lembaga AS, posisi keuangan negara, serta tanda-tanda “disfungsi” politik.
“Yang mengejutkan saya adalah seberapa besar modal politik yang bersedia dikeluarkan pemerintahan Trump untuk, jika boleh saya katakan, mereformasi sekaligus memengaruhi arah kebijakan Federal Reserve,” katanya sebagaimana dilaporkan.CNBC International.
Bartholomew menyatakan bahwa The Fed pada dasarnya merupakan lembaga penopang bagi pasar modal global. Oleh karena itu, premi jangka panjang saat ini mengalami tekanan dan diperkirakan tren ini akan terus berlangsung.
Di sisi lain, shutdownPemerintah federal diperkirakan tidak akan meninggalkan dampak yang tetap pada perekonomian Amerika Serikat. Pengaruhnya lebih terasa bagi para pengambil kebijakan dan investor yang harus membuat keputusan tanpa adanya panduan data resmi dalam jangka waktu yang tidak pasti.
Dalam lima puluh tahun terakhir, rata-rata shutdown berlangsung selama delapan hari dengan median empat hari, yang tidak cukup lama untuk benar-benar menghentikan perekonomian, meskipun layanan publik dan gaji pegawai federal sempat terganggu.
Meskipun demikian, bagi pejabat moneter, ketidaknyamanan ini benar-benar ada. The Fed harus membuat keputusan mengenai suku bunga dalam empat minggu mendatang dengan fokus utama pada inflasi dan pasar tenaga kerja—dua indikator yang saat ini kehilangan data resmi dari BLS, BEA, dan Biro Sensus.
“Sangat disesalkan kami tidak mendapatkan statistik resmi justru saat kami berusaha mengevaluasi apakah ekonomi sedang memasuki fase peralihan,” kata Presiden Fed Chicago Austan Goolsbee seperti dilaporkan.Reuters.
Data Ketenagakerjaan Tertunda
The Fed beberapa waktu lalu mengurangi suku bunga untuk pertama kalinya sejak Desember, menunjukkan kecemasan yang meningkat terhadap pasar tenaga kerja. Namun, proyeksi dari pejabat menunjukkan bahwa sebagian masih merasa risikonya belum cukup signifikan untuk mendorong pengurangan lebih lanjut dalam waktu dekat.
Jika proses shutdown berlangsung terus-menerus, laporan ketenagakerjaan bulanannonfarm payroll Dari Biro Statistik AS (BLS) yang seharusnya dirilis pada Jumat depan kemungkinan besar akan tersedia setelah pertemuan FOMC pada 28–29 Oktober. Keadaan ini mirip dengan penutupan pemerintah di awal masa jabatan Donald Trump.
Sementara itu, laporan ADP menunjukkan bahwa perusahaan swasta mengurangi 32.000 pekerjaan pada bulan September, dengan tren pengurangan tenaga kerja terjadi selama tiga dari empat bulan terakhir. Tanpa data BLS sebagai pembanding, pejabat The Fed dan para ekonom harus mengevaluasi apakah data ADP yang sebelumnya dianggap sebagai “pengganti yang kurang baik” layak dijadikan acuan.
Kredibilitas BLS sedang dipertanyakan setelah sejumlah perubahan besar dan pemecatan kepala lembaga tersebut oleh Trump pada Agustus. Hal ini meningkatkan minat terhadap sumber data alternatif seperti ADP.
Ekonom senior dari Oxford Economics, Matthew Martin, menyatakan bahwa pengurangan tenaga kerja swasta dalam laporan ADP menunjukkan sikap waspada perusahaan dalam menambah jumlah karyawan.
“Dengan data pasar tenaga kerja yang lemah dan risiko kabut data akibat penutupan sementara, kami meninjau kembali perkiraan: pemangkasan suku bunga yang sebelumnya direncanakan pada Desember kami geser ke Oktober,” tulisnya dalam laporan riset.
Bukan Krisis
Meskipun ratusan ribu karyawan pemerintah di-PHK dan layanan pemerintah terganggu,shutdowndalam sejarah, jarang terjadi goncangan besar terhadap perekonomian.
Hanya dua kali terjadi penutupan pemerintah bersamaan dengan penurunan ekonomi, yaitu November 1981 (masa Ronald Reagan, selama 2 hari) dan Oktober 1990 (masa George H.W. Bush, selama 3 hari). Namun kedua peristiwa tersebut terjadi saat perekonomian Amerika Serikat memang sudah mengalami resesi.
Penutupan pemerintah selama kuartal keempat tahun 1977 pada masa Jimmy Carter yang berlangsung selama 31 hari dalam tiga bulan memang menghambat pertumbuhan ekonomi, namun pengeluaran tetap berjalan dan pertumbuhan kembali pulih dengan cepat di kuartal berikutnya.
Pemutusan kerja terlama dalam sejarah (35 hari, Desember 2018–Januari 2019) hanya menyebabkan penurunan konsumsi rata-rata sebesar 0,3%, sementara perlambatan lebih disebabkan oleh berkurangnya dampak pemotongan pajak Trump serta pengaruh perang dagang dengan Tiongkok.
Bahkan kenaikan sementara dalam jumlah klaim tunjangan pengangguran dari pegawai federal yang di-PHK pada masa itu tidak menyebar secara luas ke pasar tenaga kerja. Data dari Departemen Tenaga Kerja menunjukkan bahwa tingkat pengangguran di AS tetap stabil selama periode penutupan pemerintah.
“Kegiatan pemerintah yang terhenti memang menyulitkan dan memicu kekacauan, tetapi hampir tidak ada bukti bahwa dampaknya besar terhadap perekonomian. Kehilangan aktivitas biasanya akan pulih pada kuartal berikutnya,” kata Scott Helfstein, Kepala Strategi Investasi Global X.