Yogyakarta sungguh selalu memiliki kejutan baru. Pagi hari minggu ini, keluarga saya—istri dan puteri tunggal kami—berkesimpulan untuk merasakan atmosfer kota tersebut. Saya awalnya berpikir bahwa tujuan kita adalah sebuah mal atau destinasi turis populer seperti biasanya. Namun ternyata, sang buah hati membawa kami menuju Pasar Ngasem secara tidak terduga.
Saya pernah merasa bingung dengan pertanyaan dalam hati, “Mengapa ke pasar?” Anak seusia dia biasanya lebih tertarik pada tempat-tempat yang modern atau berisi banyak hiburan. Namun, saya memilih untuk bergabung, cukup penasaran juga melihat hal tersebut. Setelah tiba di area Pasar Ngasem, saya langsung terkesima: suasana di sini sungguh dipadati orang!
Menemukan area untuk parkir juga tidak gampang – pengunjung bermunculan dari segala arah, bisa jadi disebabkan karena hari Minggu, di mana Kota Yogyakarta kelihatan lebih dinamis dan bergairah.
Begitu masuk ke dalam pasar, saya melihat istri dan anak saya seperti sudah tahu betul arah tujuan mereka. Dengan penuh semangat, mereka berjalan cepat menuju sebuah sudut pasar yang dipenuhi kios jajanan tradisional.
Rupanya, anak saya sudah mengincar satu tempat: Jenang Yu Jumilah. Antrean panjang di kios kecil itu membuat saya penasaran — apa yang membuat banyak orang rela mengantre?
Saya juga turut menyimaknya. ternyata, kue jenang yang ditawarkan di situ sungguh menggiurkan — empuk, manis, dengan baunya yang sangat membantu menstimulasi nafsu makan. tak mengherankan jika si kecilku telah hapal betul tentang lokasinya; setelah itu baru saya sadari bahwa kue jenang milik Bu Jumilah memang kerap menjadi perbincangan hangat di platform-media sosial.
Saat menunggu, saya menjelajahi Pasar Ngasem. ternyata, tak cuma jenang yang menjadi incaran pengunjung. Di sudut lain pasar, terdapat segerombolan orang sedang antri untuk membeli Gudeg Yu Ngademi — salah satu gudeg ikonik yang sering kali disebut dalam beragam review masakan.
Di dalam pasar itu sangat ramai: beragam hidangan lokal disusun dengan rapi, mulai dari nasi uduk, dawet, cendol, sampai pelbagai kue basah yang menarik perhatian, semua ada di sini. Aroma lembut santan, bau nasi panas, serta kelezatan manis pula menyelimuti atmosfer sekitar.
Ketika berselancar di lorong pasar, saya tiba-tiba berhenti sebentar untuk memandangi satu patung yang terkenal — seorang wanita membawa kain sarung dan menenteng keranjang obat tradisional di punggungnya.
Patung tersebut tampaknya mengingatkan kita bahwa Pasar Ngasem tidak sekadar tempat untuk melihat buruan atau mencicipi masakan tradisional, tetapi juga merupakan bagian dari sejarah panjang sebagai sentra perdagangan obat-obatan tradisional di Yogyakarta. Patung ini adalah pemberian dari Universitas Gadjah Mada sebagai ungkapan terima kasih UGM kepada sang peracik jamu yang masih menjaga pengetahuan turun-temurun tentang ramuan herbal. “Mereka-lah orang-orang yang telah lama membantu merawat kesejahteraan serta vitalitas masyarakat Nusantara selama bertahun-tahun hingga hari ini dengan cara mengepresikan seni membuat jamu seperti nenek moyang mereka,” patung ini dinamai patung Craki.
Sedikit mencari tahu, saya baru menyadari bahwa Pasar Ngasem memiliki sejarah panjang.
Dulu, selain menjadi pasar burung tertua di Yogyakarta, pasar ini memang terkenal sebagai tempat para peracik jamu dan para penjual jamu menjajakan dan menjual hasil racikannya, namun, seiring waktu dan perubahan kebijakan tata kota, Pasar Ngasem saat ini menjadi pusat kuliner tradisional yang kini menjadi daya tarik baru bagi wisatawan lokal maupun mancanegara.
Kedatangan ragam hidangan khas ini menjadikan Pasar Ngasem sebagai tempat tujuan populer terbaru, apalagi posisinya yang amat menguntungkan, tak jauh dari Istana Kraton Yogyakarta dan Taman Sari.
Sangat cocok untuk ditambahkan ke tur budaya yang berkesinambungan.
Akhirnya aku mengerti alasan anakku ingin pergi ke Pasar Ngasem. Ternyata bukan cuma karena makanan lezat di sana, tetapi lebih dari itu adalah kesempatan untuk menikmati suasana Yogyakarta sebenarnya—sederhana, hangat, kaya akan cita rasa, serta membawa kenangan manis masa lalu.
Pada hari tersebut, kami kembali dengan membawa berbagai macam jenang, gudeg, serta aneka jajanan pasarnya. Namun yang terpenting, kami memboyong pula ingatan indah akan betapa masih aktual, dinamis, dan menyemangati-nya sebuah pasar tradisional dalam iklim modern ini.