Mengurangi Friksi Kebijakan Ekonomi

Sejak Purbaya Yudhi Sadewa menjabat sebagai Menteri Keuangan menggantikan Sri Mulyani, terlihat adanya gejala friksi kebijakan antar para pengambil keputusan ekonomi utama di sisi fiskal dan moneter. Hal ini semakin menonjol ketika pada 24 September 2025, bank-bank pelat merah yang berada di bawah naungan Danantara meningkatkan suku bunga deposito valuta asing denominasi dolar Amerika Serikat (AS) menjadi 4 persen dari kisaran sebelumnya yaitu 1-2%, yang berlaku mulai November. Dalam pernyataan resmi mereka menyebutkan bahwa tujuan dari kenaikan ini adalah untuk memperkuat stabilitas nilai tukar rupiah; juga disebutkan bahwa keputusan ini sesuai dengan arahan pemerintah.

Awalnya, kebijakan tersebut tampak wajar karena ada tekanan dari terjadinya capital outflow dalam jumlah lumayan, sehingga cukup menyulitkan likuiditas valas bank “pelat merah” yang juga berkepentingan menyalurkan kredit dalam dolar AS ke para eksportir. Menurut data Bank Indonesia—sepanjang 22-25 September 2025—total net outflow mencapai Rp2,17 triliun. Pekan sebelumnya, net outflow mencapai Rp8,12 triliun. Meskipun demikian, argumen ini relatif lemah ketika dihubungkan dengan data masih longgarnya likuiditas dalam bentuk valas, sehingga tidak ada urgensi untuk mengejar tambahan stok valas dalam skala besar-besaran.

Sebelumnya, setelah bertemu dengan Presiden Prabowo Subianto di Istana Kepresidenan Jakarta, 19 September 2025, Menkeu Purbaya menyampaikan rencana untuk menarik simpanan dolar AS warga negara Indonesia (WNI) yang selama ini disimpan di luar negeri, termasuk akan menyiapkan insentif bagi WNI yang memilih menempatkan simpanan dolar di dalam negeri.

Dengan alur seperti ini, keputusan bank “pelat merah” menaikkan suku bunga valas seakan tampak sejalan dengan rencana pemerintah menarik simpanan dolar AS, sebagaimana disampaikan oleh Menkeu Purbaya beberapa hari sebelumnya. Sayangnya, setelah pengumuman kenaikan suku bunga tersebut, kurs rupiah terhadap dolar AS justru tertekan. Selain itu, tekanan yang dialami rupiah dilaporkan sempat lebih dalam dibandingkan mata uang negara tetangga.

Bantahan Demi Bantahan

Menkeu Purbaya—dalam media briefing di kantornya, 26 September 2025—justru menyampaikan bantahan dengan menyatakan bahwa pihaknya tidak pernah mengarahkan Danantara atau pun bank untuk menaikkan suku bunga deposito tersebut. Selain itu, ia juga menyampaikan alasan bahwa kenaikan suku bunga valas hanya akan membuat terjadinya perpindahan deposito dari rupiah ke dolar AS, lantaran selisih tingkat bunga penjaminan simpanan umum dan simpanan valas.

Bahkan, Menkeu juga menyampaikan bahwa Himbara belum berkoordinasi dengan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK)—di dalamnya terdapat Menkeu, Ketua Otoritas Jasa Keuangan, Gubernur Bank Indonesia, dan Ketua Lembaga Penjamin Simpanan—terkait kenaikan itu. Kendati tidak ada bantahan langsung dari pihak lainnya, khususnya Gubernur BI, pernyataan Menkeu Purbaya seakan hendak menegaskan bahwa Gubernur BI pun tidak tahu menahu tentang keputusan bank “pelat merah” menaikkan suku bunga deposito valas. Menkeu menyatakan mengkonfirmasi ini ketika berdiskusi dengan Gubernur BI.

Segera setelah Menkeu menyatakan kebijakan menaikkan suku bunga simpanan valas tersebut tergesa-gesa, bank Himbara pun mencabut pernyataan mereka perihal itu. Bahkan, pernyataan resmi itu pun hilang dari website masing-masing bank Himbara. Apakah keputusan menaikkan suku bunga deposito valas tersebut berlanjut? Jawabannya samar dan meninggalkan sebuah pertanyaan: Bagaimana sebetulnya awal mula bank-bank “pelat merah” mengambil keputusan menaikkan suku bunga deposito valas?

Dibutuhkan Kebijakan yang Padu dan Konsisten

Berbagai bantahan dan ketidakjelasan yang ada tentu hanya akan memberikan sinyal yang tidak baik bagi pelaku ekonomi dan pasar. Sementara itu, hal yang makin dibutuhkan adalah kebijakan ekonomi yang padu dan konsisten, terutama antara sisi moneter dan fiskal. Dengan demikian, ada urgensi meminimalkan friksi-friksi kebijakan ekonomi yang justru memberikan kesan lemahnya koherensi dan konsistensi kebijakan ekonomi nasional.

Ketika pelaku ekonomi membacanya sebagai gejala menguatnya friksi kebijakan, keraguan mereka terhadap pemerintah pun bisa meningkat dan pada gilirannya mendistorsi keputusan-keputusan investasi maupun konsumsi. Padahal, kedua aktivitas ini krusial untuk mencapai angka pertumbuhan yang diimpikan. Dalam batas tertentu, pelaku ekonomi dapat saja beranggapan bahwa friksi kebijakan demikian sebagai sebuah kewajaran pasca-resheffle yang belum genap sebulan. Harapannya, terdapat sebuah kebenaran bahwa gejala friksi kebijakan seperti itu adalah bagian dari proses alami menuju kebijakan moneter dan fiskal yang harmonis. Yang pasti, jika memang proses ini harus dijalani, tentu tidak boleh terjadi berlama-lama, mengingat besarnya ongkos dari ketidakpastian kebijakan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *