Opini: Menghadapi Era Tuna, Strategi Ekonomi Biru

SEDEE.XYZ,JAKARTA – Saat ini, dunia sedang memasuki masa yang dikenal sebagai era TUNA (Turbulensi, Ketidakpastian, Keterbaruan, Ketidakjelasan), sebuah istilah yang semakin penting dalam memahami arah perkembangan ekonomi global maupun nasional.

Empat ciri ini bukan hanya gagasan, tetapi kenyataan yang terlihat dari dinamika perdagangan, fluktuasi harga komoditas, aliran modal yang tidak stabil, hingga perubahan iklim yang semakin parah.

Di tengah kondisi Indonesia, masa TUNA nyata terlihat dalam gejolak nilai tukar akibat kebijakan moneter negara-negara maju, ketidakpastian permintaan ekspor, munculnya kebijakan-kebijakan baru yang belum teruji, serta ketidakjelasan regulasi di sektor kelautan dan perikanan yang sering menimbulkan interpretasi berbeda di lapangan. Secara makroekonomi, Indonesia masih mampu menjaga kinerja yang cukup baik. Pada kuartal II/2025, pertumbuhan ekonomi mencapai 5,12% (YoY) dengan kenaikan 4,04% secara kuartalan. Yang menonjol, sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan menjadi kontributor pertumbuhan terbesar pada periode kuartalan yaitu 13,53%, menunjukkan bahwa sektor berbasis sumber daya alam tetap menjadi penopang utama di tengah ketidakpastian (BPS, 2025).

Produksi perikanan pada kuartal pertama tahun 2025 mencapai 5,87 juta ton, naik sebesar 2% dibandingkan dengan periode yang sama di tahun 2024, dengan kontribusi terbesar berasal dari budidaya (+3,0%), rumput laut (+2,2%), serta perikanan tangkap (+0,7%). Namun, secara kuartalan masih terjadi penurunan pertumbuhan, menunjukkan adanya pengaruh musiman dan kelemahan struktural dalam rantai pasok (KKP, 2025).

Di bidang perdagangan, nilai ekspor produk perikanan Indonesia pada kuartal I/2025 meningkat sebesar 6,5% dibandingkan dengan kuartal I 2024 (Antara, 2025). Meskipun demikian, kontribusi sektor kelautan dan perikanan terhadap PDB nasional masih sekitar 2,29% pada kuartal I/2025 (PPID KKP, 2025). Angka ini menunjukkan peran yang relatif kecil secara makro, namun penting karena berkaitan dengan kelangsungan hidup jutaan nelayan dan masyarakat pesisir. Potensi ekonomi biru Indonesia sangat besar. Nilainya diperkirakan mencapai US$256 miliar setiap tahun atau lebih dari seperempat PDB nasional (World Bank/PROBLUE, 2024). Bappenas mencatat kontribusi sektor maritim terhadap PDB pada 2022 sekitar 7,9%, dan pemerintah saat ini sedang menyusun peta jalan ekonomi biru yang menekankan keberlanjutan, inklusivitas, serta efisiensi penggunaan sumber daya (Bappenas, 2022).

Namun, di balik potensi yang ada, era TUNA menunjukkan tantangan yang cukup besar. Penelitian terbaru mengungkapkan bahwa kebijakan ekonomi biru Indonesia masih lebih fokus pada sektor perikanan (penangkapan dan budidaya) serta pengembangan infrastruktur kelautan, tetapi menghadapi beberapa kelemahan: regulasi yang tumpang tindih, infrastruktur logistik yang belum memadai, ketimpangan akses teknologi, konflik antar sektor, serta distribusi manfaat yang tidak merata. Banyak komunitas pesisir kecil menyampaikan bahwa akses terhadap sumber daya laut yang produktif, fasilitas rantai dingin, dan pasar modern masih dikuasai oleh pelaku usaha besar, sehingga manfaat dari ekonomi biru belum tersebar secara merata. Di tengah situasi ketidakstabilan global saat ini, pemerintah telah mengumumkan alokasi dana sekitar Rp200 triliun untuk mendorong pertumbuhan ekonomi negara (Kemenkeu, 2025).

Momentum ini sebaiknya dimanfaatkan untuk melakukan pergeseran strategis, misalnya dengan membeli kapal-kapal mutakhir yang mampu beroperasi di atas 12 mil laut, yaitu wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) bahkan lautan lepas. Keberadaan kapal modern tidak hanya akan meningkatkan kemampuan menangkap secara legal dan berkelanjutan, tetapi juga menjadi alat untuk mengatasi praktik penangkapan ikan ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur (IUU fishing) yang masih marak di perairan Indonesia.

Dengan armada laut yang kuat, Indonesia tidak hanya mempertahankan kedaulatan sumber daya, tetapi juga meningkatkan posisi tawar di pasar global melalui produk yang lebih jelas asal dan kualitasnya.

Kemunculan kebijakan-kebijakan baru seperti kemudahan izin, insentif devisa agar dana ekspor tetap berada di dalam negeri, serta dukungan untuk koperasi desa menunjukkan adanya inovasi. Kebijakan tersebut bertujuan untuk menyesuaikan diri, namun masih dalam tahap pengujian sehingga dampaknya belum sepenuhnya konsisten (Kemenkeu, 2025). Ketidakjelasan muncul karena standar kualitas dan sertifikasi lingkungan belum seragam, yang membuat beban kepatuhan bagi UMKM perikanan semakin berat.

Di sisi lain, ketidakstabilan dan ketidakpastian tampak jelas melalui fluktuasi harga ikan global, perubahan mendadak dalam permintaan pasar ekspor, serta dampak perubahan iklim yang memengaruhi musim, cuaca ekstrem, hingga kerusakan lingkungan laut (FAO, 2024). Oleh karena itu, dalam menghadapi tantangan ini, Indonesia tidak boleh hanya mengandalkan strategi lama, tetapi harus siap mengambil langkah-langkah berani yang memerlukan investasi besar, seperti modernisasi armada kapal dengan teknologi penangkapan yang lebih mutakhir dan kapal pengawas yang memiliki kecepatan tinggi.

Saat dana sebesar Rp200 triliun dialokasikan, keberanian dalam mengalokasikan sebagian dari dana tersebut untuk strategi jangka panjang akan menentukan apakah Indonesia mampu mewujudkan potensi ekonomi biru menjadi mesin pertumbuhan yang berkelanjutan. Era TUNA memang penuh ketidakpastian, tetapi kesiapan menghadapi ketidakstabilan melalui investasi pada teknologi, armada yang modern, tata kelola berbasis sains, serta inklusivitas sosial akan membuat Indonesia lebih tangguh dan mandiri di laut kita sendiri.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *